My Life, My Adventure

Masa-masa itu ada di sini...Hidup Q yang berwarna ada di sini...Terima Kasih, Teman...

Me...

Memory...

Senin, 22 November 2010

Burung-burung Kertas Part 1

Kamar Rumah Sakit, 12 November
            Hidupku mulai dihitung mundur. Kata dokter aku terkena leukemia. Kanker darah yang tak pernah aku ketahui dan sekarang sudah stadium empat. Aku nggak pernah menyangka kalau hidupku di dunia ini bakalan berakhir sebentar lagi. Aku nggak tau kapan dan dokter bisa saja menerka-nerka. Mudah-mudahan aku punya sedikit waktu lagi untuk melakukan yang belum pernah kulakukan. Ada begitu banyak hal-hal yang sudah aku ajukan dalam proposal hidupku untuk Tuhan, namun nampaknya Ia hanya menerima sebagian saja. Tuhan mungkin sayang banget ama aku. Sampai-sampai Dia cepat-cepat ingin bertemu langsung denganku, walaupun konsekuensinya aku harus rela ninggalin semuanya di sini. Mama, Papa dan sahabatku Bian. Dan aku belum ngasih tau Bian tentang sakitku ini. Aku nggak mau dia jadi kasihan sama aku.
            Dan aku terus-terusan mimisan. Sepertinya hidung ini senang mengeluarkan darah. Aku benci menelan semua obat-obatan yang sebesar kelereng ini. Udah obatnya besar, banyak lagi. Benar-benar nggak enak. Disini sepi, sepi banget. Aku kangen rumah.
***
” Pelangi, ayo buat burung-burung kertas yang ini. Bagus kayaknya.”. Bian mengacung-acungkan majalah yang dibacanya di depan mataku.
”Buat apaan sih buat gituan?. Cape tau.” Kataku sambil membaringkan badan di tempat tidurku yang nyaman. Pusing di kepalaku kumat lagi.
”Menurut artikel ini, dengan membuat seribu burung-burung kertas ini, permintaan kita akan terkabul. Kamu nggak ada permintaan” tanya Bian berusaha membujukku.
”Apa iya?. Semuanya?. Bahkan permintaan untuk memperpanjang hidup juga bisa dikabulkan?”
”Panjang umur maksudmu?. Mungkin juga.”
”Serius bisa?”
”Nggak tau, Pelangi. Artikel ini hanya bilang kalau kita bisa ngebuat burung-burung kertas itu sampai seribu, permintaan kita bisa terkabul. Itu juga menurut kepercayaan orang-orang Jepang. Kenapa sih?. Kok tiba-tiba antusias banget. Memangnya kau mau minta apa?” tanya Bian penuh selidik.
”Waktu” jawabku singkat. Aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela. Rintik-rintik hujan mulai jatuh mencium bumi.
”Waktu?. Aku nggak ngerti. Kau mau minta waktu. Seperti orang mau mati saja” jawab Bian sambil mengusap-usap kepalaku. Aku memandang sahabatku ini sejenak. Aku memang butuh waktu, Bian. Sangat membutuhkannya, karena waktu yang kupunya sebentar lagi akan habis dan aku tidak bisa melihatmu lagi.
”Eh, kenapa jadi murung?. Wah, hujan. Seru nih. Main hujan yuk.” Katanya sambil menarik tanganku keluar.
            Aku tau, aku tak boleh main hujan. Kesehatanku bisa ambruk dan bisa fatal. Tapi aku ingin. Waktuku yang hanya tinggal sebentar lagi dan aku ingin melakukan hal-hal yang bisa membuatku paling tidak dapat tersenyum dan tidak memikirkan kapan waktuku habis. Mungkin sebentar lagi aku sudak tidak bisa menikmati tetes air hujan ini, berteriak-teriak kegirangan layaknya anak-anak lain yang masih sehat. Suatu saat nanti aku hanya bisa memandang dari atas sana,  memperhatikan Bian dan teman-temannya bermain air seperti saat ini. aku akan sangat merindukan saat-saat seperti ini.